Minggu, 23 April 2017

Model Etika Dalam Bisnis, Sumber-Sumber Dan Nilai Dalam Perilaku Etika, Faktor Yang Mempengaruhi Etika Manajerial

Model Etika Dalam Bisnis

Carroll dan Buchollz (2005) dalam Rudito (2007:49) membagi tiga tingkatan manajemen dilihat dari cara para pelaku bisnis dalam menerapkan etika dalam bisnisnya.

1. Immoral Manajemen
Immoral manajemen merupakan tingkatan terendah dari model manajemen dalam menerapkan prinsip-prinsip etika bisnis. Manajer yang memiliki manajemen tipe ini pada umumnya sama sekali tidak mengindahkan apa yang dimaksud dengan moralitas, baik dalam internal organisasinya maupun bagaimana dia menjalankan aktivitas bisnisnya. Para pelaku bisnis yang tergolong pada tipe ini, biasanya memanfaatkan kelemahan-kelemahan dan kelengahan-kelengahan dalam komunitas untuk kepentingan dan keuntungan diri sendiri, baik secara individu atau kelompok mereka. Kelompok manajemen ini selalu menghindari diri dari yang disebut etika. Bahkan hukum dianggap sebagai batu sandungan dalam menjalankan bisnisnya. 

2. Amoral Manajemen 
Tingkatan kedua dalam aplikasi etika dan moralitas dalam manajemen adalah amoral manajemen. Berbeda dengan immoral manajemen, manajer dengan tipe manajemen seperti ini sebenarnya bukan tidak tahu sama sekali etika atau moralitas. Ada dua jenis lain manajemen tipe amoral ini, yaitu Pertama, manajer yang tidak sengaja berbuat amoral (unintentional amoral manager). Tipe ini adalah para manajer yang dianggap kurang peka, bahwa dalam segala keputusan bisnis yang diperbuat sebenarnya langsung atau tidak langsung akan memberikan efek pada pihak lain. Oleh karena itu, mereka akan menjalankan bisnisnya tanpa memikirkan apakah aktivitas bisnisnya sudah memiliki dimensi etika atau belum. Manajer tipe ini mungkin saja punya niat baik, namun mereka tidak bisa melihat bahwa keputusan dan aktivitas bisnis mereka apakah merugikan pihak lain atau tidak. Tipikal manajer seperti ini biasanya lebih berorientasi hanya pada hukum yang berlaku, dan menjadikan hukum sebagai pedoman dalam beraktivitas. Kedua, tipe manajer yang sengaja berbuat amoral. Manajemen dengan pola ini sebenarnya memahami ada aturan dan etika yang harus dijalankan, namun terkadang secara sengaja melanggar etika tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan bisnis mereka, misalnya ingin melakukan efisiensi dan lain-lain. Namun manajer tipe ini terkadang berpandangan bahwa etika hanya berlaku bagi kehidupan pribadi kita, tidak untuk bisnis. Mereka percaya bahwa aktivitas bisnis berada di luar dari pertimbangan-pertimbangan etika dan moralitas.

Widyahartono (1996:74) mengatakan prinsip bisnis amoral itu menyatakan “bisnis adalah bisnis dan etika adalah etika, keduanya jangan dicampur-adukkan”. Dasar pemikirannya sebagai berikut :

Bisnis adalah suatu bentuk persaingan yang mengutamakan dan mendahulukan kepentingan ego-pribadi. Bisnis diperlakukan seperti permainan (game) yang aturannya sangat berbeda dari aturan yang ada dalam kehidupan sosial pada umumnya.

Orang yang mematuhi aturan moral dan ketanggapan sosial (sosial responsiveness) akan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan di tengah persaingan ketat yang tak mengenal “values” yang menghasilkan segala cara.

Kalau suatu praktek bisnis dibenarkan secara legal (karena sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan karena law enforcement-nya lemah), maka para penganut bisnis amoral itu justru menyatakan bahwa praktek bisnis itu secara “moral mereka” (kriteria atau ukuran mereka) dapat dibenarkan. Pembenaran diri itu merupakan sesuatu yang ”wajar’ menurut mereka. Bisnis amoral dalam dirinya meskipun ditutup-tutupi tidak mau menjadi “agen moral” karena mereka menganggap hal ini membuang-buang waktu, dan mematikan usaha mencapai laba. 

3. Moral Manajemen
Tingkatan tertinggi dari penerapan nilai-nilai etika atau moralitas dalam bisnis adalah moral manajemen. Dalam moral manajemen, nilai-nilai etika dan moralitas diletakkan pada level standar tertinggi dari segala bentuk prilaku dan aktivitas bisnisnya. Manajer yang termasuk dalam tipe ini hanya menerima dan mematuhi aturan-aturan yang berlaku namun juga terbiasa meletakkan prinsip-prinsip etika dalam kepemimpinannya. Seorang manajer yang termasuk dalam tipe ini menginginkan keuntungan dalam bisnisnya, tapi hanya jika bisnis yang dijalankannya secara legal dan juga tidak melanggar etika yang ada dalam komunitas, seperti keadilan, kejujuran, dan semangat untuk mematuhi hukum yang berlaku. Hukum bagi mereka dilihat sebagai minimum etika yang harus mereka patuhi, sehingga aktifitas dan tujuan bisnisnya akan diarahkan untuk melebihi dari apa yang disebut sebagai tuntutan hukum. Manajer yang bermoral selalu melihat dan menggunakan prinsip-prinsip etika seperti, keadilan, kebenaran, dan aturan-aturan emas (golden rule) sebagai pedoman dalam segala keputusan bisnis yang diambilnya.



Sumber-Sumber Dan Nilai Dalam Perilaku Etika

1. Agama
Etika bisnis menurut ajaran Islam digali langsung dari Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Dalam ajaran Islam, etika bisnis dalam Islam menekankan pada empat hal, yaitu: Kesatuan (unity), Keseimbangan (equilibrium), Kebebasan (free will), dan tanggung jawab (responsibility). (Mubyarto: 2002)

Ajaran Islam memandang bahwa manusia sebagai wakil (khalifah) Tuhan di dunia tidak mungkin bersifat individualistik karena semua kekayaan yang ada di bumi adalah milik Allah semata, dan manusia merupakan perwakilannya di bumi.
Banyak wujud penerapannya, salah satunya yaitu larangan riba, dalam hal ini pemilik modal selalu terlibat langsung dan bertanggung jawab terhadap jalannya perusahaan miliknya bahkan terhadap buruh yang dipekerjakannya.

Perusahaan dalam sistem ekonomi Islam adalah perusahaan keluarga, bukan Perseroan Terbatas yang pemegang sahamnya dapat menyerahkan pengelolaan perusahaan begitu saja pada orang yang ditunjuk sebagai direktur atau manajer yang digaji.

Sehubungan dengan sistem ini, maka tidak ada perusahaan yang begitu besar  seperti didunia kapitalis barat dan juga tidak ada perusahaan yang tiba-tiba bangkrut atau dibangkrutkan.

Etika bisnis Islam, menjunjung tinggi semangat saling percaya, kejujuran dan keadilan, sedangkan antara pemilik perusahaan dan karyawan berkembang semangat kekeluargaan. Pemilik perusahaan dapat menurunkan gaji karyawan apabila perusahaan sedang mengalami kerugian, dan juga perusahaan dapat memberikan bonus kepada karyawan apabila perusahaan mengalami peningkatan keuntungan.

Dalam bukunya Max Weber The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism  (1904) menjadi awal keyakinan adanya hubungan erat antara ajaran agama dan etika kerja atau antara penerapan ajaran agama dengan pembangunan ekonomi.

Etika yang bersumber dari ajaran agama mengandung prinsip yang berkaitan dengan nilai-nilai kebenaran, sikap dan perilaku yang di “kasih” Tuhan. (Hanskung: 2005)

Pada dasarnya ada persamaan dalam tiap-tiap agama menyangkut hubungannya dengan dasar dalam ber etika.
Keadilan: kejujuran untuk mempergunakan kekuatan untuk menjaga nilai-nilai kebenaran
Saling menghormati: cinta dan perhatian terhadap orang lain.
Pelayanan: manusia hanya ‘pelayan’, ‘pengawas’ sumber-sumber alam.
Kejujuran: kejujuran dan sikap dapat dipercaya dalam semua hubungan manusia, dan integritas yang kuat.

Etika sebagai ajaran baik-buruk, benar-salah, atau ajaran tentang moral khususnya dalam perilaku dan tindakan-tindakan ekonomi terutama bersumber dari ajaran-ajaran agama.
Itulah sebabnya banyak ajaran dan paham dalam ekonomi barat menunjuk pada kitab Injil (Bible), ekonomi Yahudi pada kitab Taurat, dan ekonomi Islam termuat dalam Al-Qur’an lebih dari seperlima ayat-ayat yang ada didalamnya.

2. Filosofi
Filosofi juga menjadi acuan-acuan yang berkembang dalam proses pengambilan keputusan yang bersumber dari nilai-nilai etika. Ajaran-ajaran ini erkembang dari hasil pemikiran manusia dan terus berkembang dari tahun ke tahun.

Perkembangan ajaran filsosfi terhadap kemunculan etika bisnis:

a. Socrates (470 -399 SM)
Socrates mempercayai bahwa manusia ada untuk satu tujuan, dan bahwa salah dan benar memainkan peranan yang penting dalam mendefinisikan hubungan seseorang dengan lingkungan dan sesamanya.
           
Socrates percaya bahwa kebaikan berasal dari pengetahuan terhadap diri dan pada dasarnya manusia itu jujur. Munculnya sikap jahat merupakan sebuah bentuk salah pengarahan terhadap diri sesorang. Dia juga memperkenalkan ide-ide hukum moral, bahwa hukum moral lebih tinggi kedudukan nya dibanding hukum manusia.

b. Plato (428-348 SM)
Republik (dalam bahasa Yunani Politeia atau “negeri”) merupakan suatu bentuk  uraian pandangan Plato terhadap keadaan “ideal” dari sebuah negara. Dalam bukunya, Plato menjelaskan bahwa pemerintahan yang ideal mengalami pergantian dalam lima tahun sekali, dimana sistem ini banyak diterapkan oleh kehidupan bernegara saat sekarang ini.
Plato berpendapat bahwa keadaan ideal muncul sebagai hasil dari pemikiran yang bersifat intelektual dengan mendasarkan nilai-nilai kebajikan dan konsep kebenaran.

c. Aristoteles
Etika menurut Aristoteles adalah perilaku jiwa yang baik yang menuntun kepada kebahagiaan dan kebenaran. Keterbatasan pengetahuan tentang jiwa manusia tidak menjadi sebuah hambatan untuk mendalami konsep etika.

Filsuf Yunani kuno seperti Aristoteles berpendapat bahwa jiwa manusia menginginkan sebuah kebahagiaan dan jiwa bahagia lahir dari perbuatan yang bersumber dari kebajikan moral. Hal inilah yang menjadi dasar perkembangan pola pemikiran barat dan keagamaan lain pada umumnya.
Filosofi

d. Nabi Muhammad SAW
Perilaku yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dianggap sebagai salah satu sumber tauladan dalam perilaku etika bisnis.

Sebelum menjadi rasul, Nabi Muhammad SAW berprofesi sebagai pedagang dimulai ketika beliau berusia 12 tahun. Dalam berdagang, beliau menerapkan prinsip kejujuran sehingga beliau mendapat gelar Al-Amien.

Ada empat pilar etika manajemen bisnis menurut Islam seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.
·      Tauhid, yang berarti memandang bahwa segala aset dari transaksi adalah milik Allah. Dalam hal ini manusia hanya bertindak sebagai pelaksana amanat dari Yang Maha Kuasa.
·      Adil, artinya segala keputusan menyangkut transaksi dengan lawan bisnis atau kesepakatan kerja harus dilandasi dengan akad saling setuju dengan sistem profit dan loss sharing.
·      Kehendak bebas, umat islam diberi kebebasan untuk berkreativitas dalam transaksi bisnis selama tetap berada dalam batasan-batasan yang telah diatur dalam ekonomi islam.
· Pertanggungjawaban, semua bentuk keputusan yang dilaksanakan harus dapat dipertanggungjawabkan.

3. Budaya
Budaya merupakan sebuah warisan dari satu generasi ke generasi yang lain. Dimana nilai-nilai atau aturan yang telah ada sebelumnya menjadi acuan dan dilestarikan sesuai dengan ajaran-ajaran pendahulunya dan kemudian akan menjadi sebuah standar dalam berperilaku sehari-hari.

Sebagaimana ciri khas bangsa Asia, ciri khas yang paling menonjol adalah budaya kekeluargaan, kerjasama dan hubungan kekeluargaan yang erat. Hal ini juga berlaku sebagai budaya di Indonesia. Semangat gotong royong diyakini menjadi salah satu akar budaya di Indonesia. Diperkuat dengan semboyan kenegaraan kita Bhinneka Tunggal Ika yang berarti walaupun berbeda namun tetap satu.

Seiring dengan perkembangan pembangunan dan ekonomi, nilai-nilai gotong royong sudah banyak mengalami pergeseran. Nilai individualistis dan mengutamakan kepentingan pribadi lebih menonjol dan menjadi mayoritas perilaku bangsa kita saat ini.

4. Hukum
Hukum merupakan perangkat aturan yang dibuat oleh pemerintah untuk menjamin kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara.
Hukum menentukan ekspektasi-ekspektasi etika yang diharapkan dalam komunitas dan mencoba mengatur serta mendorong pada perbaikan-perbaikan masalah yang dipandang buruk atau tidak baik dalam komunitas.

Indonesia menganut sistem hukum campuran dengan sistem hukum utama yaitu sistem hukum eropa kontinental yang dibawa oleh Belanda ketika menjajah Indonesia, sedangkan dibeberapa daerah juga ada penerapan hukum yang berdasarkan hukum adat dan hukum agama seperti di daerah Aceh.

Pada umumnya pebisnis lebih menerapkan hukum  sebagai cermin etika mereka, hal ini disebabkan oleh kejelasan mengenai aturan-aturan serta hukuman yang diberikan oleh perangkat hukum memiliki kedudukan yang lebih konkrit ketimbang hukum yang hanya bersifat moral.



Faktor Yang Mempengaruhi Etika Manajerial

1. Leadership
Kepemimpinan (Leadership) adalah kemampuan individu untuk mempengaruhi memotivasi, dan membuat orang lain mampu memberikan kontribusinya demi efektivitas dan keberhasilan organisasi (House et. Al., 1999 : 184). Menurut Handoko (2000 : 294) definisi atau pengertian kepemimpinan telah didefiinisikan dengan berbagai cara yang berbeda oleh berbagai orang yang berbeda pula. Menurut Stoner, kepemimpinan manajerial dapat didefinisikan sebagai suatu proses pengarahan dan pemberian pengaruh pada kegiatan-kegiatan dari sekelompok anggota yang saling berhubungan tugasnya.

Ada tiga implikasi penting dari definisi tersebut, antara lain: Pertama, kepemimpinan menyangkut orang lain – bawahan atau pengikut. Kesediaan mereka untuk menerima pengarahan dari pemimpinan, para anggota kelompok membantu menentukan status/kedudukan pemimpin dan membuat proses kepemimpinan dapat berjalan. Tanpa bawahan, semua kualitas kepemimpinan seorang manajer akan menjadi tidak relevan. Kedua, kepemimpinan menyangkut suatu pembagian kekuasaan yang tidak seimbang di antara para pemimpin dan anggota kelompok. Para pemimpin mempunyai wewenang untuk mengarahkan berbagai kegiatan para anggota kelompok, tetapi para anggota kelompok tidak dapat mengarahkan kegiatan-kegiatan pemimpin secara langsung, meskipun dapat juga melalui sejumlah cara secara tidak langsung. Ketiga, pemimpin mempergunakan pengaruh. Dengan kata lain, para pemimpin tidak hanya dapat memerintah bawahan apa yang harus dilakukan tetapi juga dapat memepengaruhi bagaimana bawahan melaksanakan perintahnya.

2. Strategi dan Performasi
Pendekatan secara keseluruhan yang berkaitan dengan pelaksanaan gagasan, perencanaan, dan eksekusi sebuah aktivitas dalam kurun waktu tertentu. Fungsi yang penting dari sebuah manajemen adalah untuk kreatif dalam menghadapi tingginya tingkat persaingan yang membuat perusahaannya mencapai tujuan perusahaan terutama dari sisi keuangan tanpa harus menodai aktivitas bisnisnya berbagai kompromi etika. Sebuah perusahaan yang jelek akan memiliki kesulitan besar untuk menyelaraskan target yang ingin dicapai perusahaannya dengan standar-standar etika. Karena keseluruhan strategi perusahaan yang disebut excellence harus bisa melaksanakan seluruh kebijakan-kebijakan perusahaan guna mencapai tujuan perusahaan dengan cara yang jujur.

3. Karakteristik individu
Merupakan suatu proses psikologi yang mempengaruhi individu dalam memperoleh, mengkonsumsi serta menerima barang dan jasa serta pengalaman. Karakteristik individu merupakan faktor internal (interpersonal) yang menggerakan dan mempengaruhi perilaku individu”.

4. Budaya Organisasi
Menurut Mangkunegara, (2005:113), budaya organisasi adalah seperangkat asumsi atau sistem keyakinan, nilai-nilai dan norma yang dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman tingkah laku bagi anggota-anggotanya untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal.


Referensi :

Nama : Dian Nurajifah
Npm : 12214988
Kelas : 3EA38
Tugas/Penulisan : Etika Bisnis#